Syekh Abdul Qodir al
Jaelani (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih
Zango Dost al Jaelani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M sehingga
di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani atau juga al
Jiliydan. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah
I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia wafat pada hari
Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul
Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.
Masa
Muda
Dalam usia 8 tahun ia
sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak
diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad
al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad
beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat,
Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada
ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al
Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj
menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana
sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut.
Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang
yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau
hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-Murid
Murid-murid
beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang
menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun
kitab fiqh terkenal al Mughni.
Perkataan
Ulama tentang Beliau
Syeikh
Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari.
Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani
sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh
Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab,
”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan
kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus
putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa
menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Beliau
adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf
al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula)
orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa
kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang
berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya
dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Tentang
Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al
Jaelani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para
syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah.
Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri
(nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang
mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani
dalam tiga jilid kitab. Al Muqri’ lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun
713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
“Cukuplah
seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”, demikian kata
Imam Ibnu Rajab. “Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak
tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada
di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain
kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal.
Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal,
kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas,
seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan
sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al
Jailani rahimahullah.”
Kemudian
didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin
Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama
bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H
dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam
kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy
Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam
kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar,
Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam
Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah memiliki
pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan
ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah.”
Karya
beliau, antara lain :
al
Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
Futuhul
Ghaib.
Murid-muridnya
mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau.
Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia
membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Beberapa
Ajaran Beliau
Sam’ani
berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia
seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup
beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam
Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih
dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu
orang telah bertaubat.”
Imam
Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul
Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui
hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir
memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap
sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan
orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama
beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun
para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah
hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara
riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ”
Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) didalam
kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku
mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga
membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah,
dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat
Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit
Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah
tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang
yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau
berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.
Awal
Kemasyhuran
Al-Jaba’i
berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani pernah berkata kepadanya, “Tidur
dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang
kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak
berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu
ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka
mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun
berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan
lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang
tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat
tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla.
Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan
keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang
para wali radhiallahu ‘anhum]].
Kemudian,
Syaikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulullah SAW sebelum dzuhur,
beliau berkata kepadaku, “anakku, mengapa engkau tidak berbicara?”. Aku
menjawab, “Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang
fasih dari Baghdad?”. Ia berkata, “buka mulutmu”. Lalu, beliau meniup 7 kali ke
dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah
dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan
duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga
membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, “buka
mulutmu”. Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya
kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulullah
SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau
kepada RasuluLlah SAW. Kemudian, aku berkata, “Pikiran, sang penyelam yang
mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada
, dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam
rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, “Dan untuk
wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut
dan siksaan sebagai sesuatu yang manis.”
Dalam
beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jaelani berkata,
”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, “kembali ke
Baghdad dan ceramahilah orang-orang”. Aku pun ke Baghdad dan menemukan para
penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi
mengikuti mereka”. “Sesungguhnya” kata suara tersebut, “Mereka akan mendapatkan
manfaat dari keberadaan dirimu”. “Apa hubungan mereka dengan keselamatan
agamaku/keyakinanku” tanyaku. “Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan
keselamatan agamamu” jawab suara itu.
Aku
pun menbuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang
pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam
keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa
Kejadian Penting
Suatu
ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang
mendatangi aku. “Apa ini dan ada apa?” tanyaku. “Rasulullah SAW akan datang
menemuimu untuk memberikan selamat” jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin
membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah
sadar. Lalu, aku melihat RasuLullah SAW di depan mimbar, mengambang di udara
dan memanggilku, “Wahai Abdul Qadir”. Begitu gembiranya aku dengan kedatangan
Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam
mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali.
“Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?” tanyaku
kepadanya. “Sebagai rasa hormatku kepada Rasulullah SAW” jawab beliau.
Rasulullah
SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. “apa ini?” tanyaku. “Ini”
jawab Rasulullah, “adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang
yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian”. Setelah itu, aku pun
tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat
Khidir as. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali
sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku.
Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, “Engkau
tidak akan sabar kepadaku”, aku akan berkata kepadamu, “Engkau tidak akan sabar
kepadaku”. “Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku
termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti
sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda
berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab
pelayan Syaikh Abdul QAdir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang
berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang
Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke
tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas
al Khidir as lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar
tadi dan ia berhenti”.
Hubungan
Guru dan Murid
Guru
dan teladan kita Syaikh Abdul Qadir al Jilli berkata, ”Seorang Syaikh tidak
dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut
ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1.
Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan
ghaffar (pemaaf).
2.
Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3.
Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4.
Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5.
Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang
lain sedang tidur.
6.
Dua karakter dari Ali yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih
berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada
beliau dikatakan:
Bila
lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal
yang mengajak kepada kesesatan.
Dia
harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari
sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin,
mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syaikh
Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syaikh al Junaid mengajarkan standar al Quran
dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syaikh. Apabila ia tidak hafal al
Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut
saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syaikh ketika mendidik
seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau
alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan
kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan
riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua
penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu,
dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya
dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah
untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang
lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW
ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian
dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya.
Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, jalan
manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan
paling afdhal di sisi-Nya. Rasulullah berkata, “Ali, hendaknya jangan putus
berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)”. Kemudian,
Ali ra. kembali berkata, “Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua
orang berzikir”. Rasulullah berkata, “Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak
akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan ‘Allah’,
‘Allah’. “Bagaimana aku berzikir?” tanya Ali. Rasulullah bersabda, “Dengarkan
apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan
mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula”. Lalu, Rasulullah
berkata, “Laa ilaaha illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan
suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti
yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa ilaaha Illallah. Semoga
Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syaikh
Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu
yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh
mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena
itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai
yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat
perpisahan (maut).
Lain-Lain
Kesimpulannya
beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin
menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran.
Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di
atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan
yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang
paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan
disisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang
menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam
do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh
Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan
orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini
diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah
sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang
tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada
selain Allah. “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping (menyembah )
Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )”
Jadi
sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama
dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan
syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada
kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada
tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada
masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani
menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya
dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia
memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya
Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214
M). Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh
Abdul Qadir Jaelani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu
tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Referensi
1.
Manakib Syekh Abdul Qodir Al Jailani, Perjalanan Spiritual Sulthanul Auliya,
Pustaka Setia,Bandung, 2003