Penjelasan
adanya WALISONGO / Sejarah WALISONGO
Karena di
Tanah Jawa Pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit sangat kuat waktu itu, timbul
niat dari Sayyid Jumadil Qubro ( berasal dari Samarkhan dekat Bukhoro ( lahir
1349M ) ) niat Jumadil Qubro dengan Sultan Muhammad I (Raja Turki) untuk
melakukan kegiatan da’wah islam di pulau jawa maka lahirlah WALISONGO periode I
berangkat dari Turki ke Pulau Jawa Th. 1404M anggota : 1. Maulana Malik Ibrahim
dari Turki , wafat di gresik jatim Th. 1419M, 2. Maulana Ishak yang putra dari
Jumadil Qubro , asal Samarkhan wafat di Jombang di jalan Garuda Dusun
Tambakberas. 3. Maulana Jumadil Qubro dari Samarkhan, wafat di troloyo
mojokerto 1465M. 4. Maulana Ahmad Al Maghrobiy (sunan geseng) dari Maroko
afrika utara wafat di makamkan di pesantren Jati Anom Klaten Th. 1465M. 5.
Maulana Malik Isroil dari Turki , wafat di Gunung santri Cilegon jawa barat Th.
1435M. 6. Maulana Muhammad Ali Akbar, ulama dari Persia (Iran) , wafat di
Gunung santri Cilegon Th. 1435M. 7. Maulana Hasanuddin, dari Palestina Wafat di
makamkan di area Masjid Banten lama Th. 1462M. 8. Maulana Alayuddin, dari
Palestina , wafat di makamkan di area Masjid Banten Lama Th.1462M. 9. Syeh
Subakir, ulama dari Persia (Iran) kembali ke negeri Persia Th. 1462 setelah
selesai bertugas. WALISONGO periode II Th. 1421M. anggota : 1. Sayyid Ali
Rahmatulloh (Sunan Ampel ) yang cucu dari sayyid Jumadil Qubro Troloyo, 2.
Maula Iskhak (tetap), 3. Maulana Jumadil Qubro (tetap). 4. Maulana Muhammad
Almaghibi (tetap). 5. Sayyid Ja’far Sodiq (Sunan Kudus). 6. Sayyid Sarif Hidayatulloh
(Sunan Gunung Jati) . 7. Maulana Hasanuddin (tetap) 8. Maulana Aliyuddin
(tetap). 9. Syeh Subakir (tetap). WALISONGO periode III Th. 1463M. anggota : 1.
Sunan Ampel (tetap). 2. Raden Paku (Sunan Giri) anaknya Maulana Ishak dengan
ibu Dewi Sekardadu Blambangan. 3. Maulana Jumadil Qubro (tetap). 4. Maulana
Muhammad Almagribi (tetap). 5. Sayid Ja’far Sodiq (Sunan Kudus) (tetap) .
6.Sayid Sarif Hidayatulloh (sunan Gunung Jati) (tetap). 7. Raden Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang) beliau anak Sunan Ampel . 8. Raden Qosim (Sunan Derajad) beliau
putra Sunan Ampel . 9. Raden Said (Sunan Kalijaga) anak adipati Wilatikta
Tuban. WALISONGO periode IV Th. 1466M. anggota: 1. Sayid Ali Rahmatulloh
(sunan ampel) tetap. 2. Raden Paku (Ainul Yaqin) (Sunan Giri) tetap. 3. Raden
Hasan (Raden Patah) menggantikan Sayid Jumadil Qubro. 4. Raden Umar Sa’id
(sunan Muria) . 5. Sayid Ja’far Sodiq (sunan Kudus) tetap. 6. Fatkhullah khan
atau Faletehan . beliau menggantikan ayahnya Sarif Hidayatulloh (Sunan Gunung
Jati) yang sudah tua. 7. Raden Makdum Ibrahim (sunan bonang) tetap. 8. Maulana
Alayuddin (sunan derajad) (tetap). 9. Raden Said (Sunan Kalijaga) tetap.
WALISONGO periode V Th. 1479M. anggota : 1. Syeh Siti Jenar (Syeh Lemah Abang)
menggantikan Sayid Ali Rahmatulloh (sunan Ampel wafat 1478M). 2. Raden Paku
(sunsn Giri) tetap. 3. Raden Patah (Raden Hasan) tetap. 4. Raden Umar
Said (Sunan Muria) tetap. 5. (Sunan Kudus) tetap. 6. Fathullah Khan atau
Faletehan , tetap. 7. Sunan Bonang ,tetap . 8. Raden Qosim (Sunan Derajad) tetap.
9. Raden Said (Sunan Kalijaga) tetap. Pada Masa WALISONGO periode V ini
Syeh Siti Jenar Terpidana masalah Hakekat yang kurang umum akhirnya keanggotaan
walisongo diganti oleh Ki Pandanarang (Sunan Bayat).
SEDANGKAN WALI SONGO YANG BANYAK DIKENAL (yang dikenal umum) adalah
seperti bawah ini : 1. Maulana Malik Ibrahim. 2. Sunan Ampel. 3. Sunan
Bonang. 4. Sunan Giri. 5. Sunan Derajat. 6. Sunan Muria. 7. Sunan Kudus. 8.
Sunan kalijaga. 9. Sunan Gunung Jati (walisongo2 ini hanya merupakan dari
sekian banyak anggotaWalisongo yang terkenal saja menyandang walisongo).
baiklah kita bahas WALISONGO yang cukup terkenal dan dikenal tersebut :
1. SUNAN
BONANG
Ia anak
Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama
Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama
dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk
berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,
yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid
Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah
-sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan
bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak
pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura
maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya
dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan
oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam
fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan
garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang
piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang
berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat.
Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil.
Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq
karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil
cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh
Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga
menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan
memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa
dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara
nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
2.SUNAN
AMPEL
Ia putera
tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan
Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa
pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia
lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi
bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang). Beberapa versi menyatakan bahwa
Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho,
sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang.
Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa,
bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama
Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang
adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan
puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak
didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa
itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V
raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang
berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan
pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada
pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya
adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya
untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih
mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran
sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
3. SUNAN
DERAJAD
Nama
kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan
Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini
lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya
untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan
Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem
Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid
dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak
mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi
cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia
menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat
pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di
pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir
miskin.
4. SUNAN
GIRI
Ia
memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka
Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang
oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke
laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi
versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik
Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal
mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai.Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren
misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat
berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren
di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah
“giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan
sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat
pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur
pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat
kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri
juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik
yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari
Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer
Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak
tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin
tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun.
Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling
gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri
pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai
pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.
Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal
karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya
sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa.
Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut
sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi
bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
5. SUNAN
GUNUNG JATI
Banyak
kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya
adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj,
lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi
Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan
kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia
14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo”
yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai
putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah
yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur
berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana
Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa
setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut
yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan
Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu
diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari
arah barat.
6. SUNAN
KALIJAGA
Dialah
“wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari
tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan
telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga
memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban
atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama
Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu
berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (’kungkum’) di sungai
(kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari
bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100
tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir
1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan
Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah
pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan
salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah,
ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang.
Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan
Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta
Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua
beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu -selatan Demak.
7. SUNAN
KUDUS
Nama
kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik
Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di
Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di
Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan
tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo
Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat
Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah
seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah
menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di
bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
8.
MAULANA MALIK IBRAHIM
(Wafat
1419)
Maulana
Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di
Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga
disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal.
Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus
ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang
ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana
Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja,
selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang
memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel)
dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah
di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa
meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya
disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo,
daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo
sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah.
Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk Mengobati
masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk
mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri
tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik,
Jawa Timur.
9. SUNAN
MURIA
Ia putra
Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari
tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota
Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul
dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok
tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali
dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak
(1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima
oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana
hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah
lagu Sinom dan Kinanti. “Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik
Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga
sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan
paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh
wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama,
namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus
adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. Era Walisongo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam.
Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus
dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan
Budha.